BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Hadits Dha’if[1]
Hadist dha’if pada lughat,
ialah Ajiz= yang lemah , diddul qawiylawan yang kuat. Jama’nya
dlu’afaa, dli’af, dla’afah, dan dla’faa.
Menurut isitilah:
ما لم يجمع صفات
الحديث الصحيح ولا صفات الحديث الحسن
“hadist
yang tiada mengumpulkan sifat-sifat hadits shahih tiada mengumpulkan
sifat-sifat hadits hasan”.
ما لم يبلغ مرتبة درجة الحسن
“ Yang tiada sampai kemartabat
derajat hasan”
Ungkapan bahwa
hadits itu lemah, mengandung arti bahwa para ulama memiliki dugaan yang lemah (
kecil atau rendah) tentang benarnya hadits itu berasal dari rasulullah saw.
Lebih kuat (besar atau tinggi) dugaan mereka bahwa hadits itu tidak berasal
dari rasulullah
الحديث الضعيف
هو الحديث الذى لم يجمع صفات الحديث الصحيح ولا صفات الحديث
“ hadits dhaif adalah hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat
hadits shahih, dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadits hasan.[2]
Sudah jelas
diterangkan, bahwa hadits “Maqbul” (diterima) ialah: “ Hadits yang sempurna
padanya syarat-syarat diterimanya”. Maka hadits “Mardud” ( yang ditolak), ialah
“ Hadits yang terdapat padanya sesuatu sebab untuk menolaknya”. Terdapat sebab
menolaknya, berati “tak ada padanya sesuatu syarat dari syarat-syarat
menerimanya”.
Tegasnya, hadits
dhaif, ialah; “ Hadits yang didapati padanya sesuatu yang menyebabkan
ditolaknya”.
Yang menyebabkan
ditolaknya, itulah yang menyebabkan lemahnya.
Kriteria hadits
dha’if yaitu hadits yang kehilangan salah satu syaratnya sebagai hadits sahih
dan hasan. Dengan demikian, hadits dha’if itu bukan saja tidak memenuhi
syarat-syarat hadits sahih, juga tidak memenuhi persyaratan hadits hasan. Pada
hadits dha’if terdapat hal-hal yang menyebabkan lebih besarnya dugaan untuk
menetapkan hadits tersebut bukan berasal dari rasulullah SAW.
Kehati-hatian
dari para ahli hadits dalam menerima hadits sehingga mereka menjadikan tidak
adanya petunjuk keaslian hadits itu sebagai alasan yang cukup untuk menolak
hadits dan menghukuminya sebagai hadits dhaif. Padahal tidak adanya petunjuk
atas keaslian hadits itu bukan suatu bukti yang pasti atas adanya kesalahan
atau kedustaan dalam periwatan hadits, seperti kedha’ifan hadits yang
disebabkan rendahnya daya hapal rawinya atau kesalahan yang dilakukan dalam meriwayatkan
suatu hadits, padahal sebetulnya ia jujur dan dapat dipercaya. Hal ini tidak
memastikan bahwa rawi itu salah pula dalam meriwayatkan hadits yang
dimaksudkan, bahkan mungkin sekali dia benar. Akan tetapi, karena ada
kekhawatiran yang cukup kuat terhadap kemungkinan terjadinya kesalahan dalam
periwatan hadits yang dimaksud, maka mereka menetapkan untuk menolaknya.
Demikian pula
kedhaifan suatu hadits karena tidak tersambungnya sanad. Hadits yang demekian
di hukum dha’if karena identitas rawi yang tidak tercantum itu tidak diketahui
sehingga boleh jadi ia adalah perawi yang tsiqatdan boleh jadi ia adalah
perawi yang dha’if. Seandainya ia perawi yang dha’if maka boleh jadi ia
melakukan kesalahan dalam meriwayatkannya. Oleh karena itu, para muhaddisin menjadikan
kemungkinan yang timbul dari suatu kemungkinan itu sebagai suatu pertimbangan
dan menganggapnya sebagai penghalang dapat diterimanya suatu hadits. Hal ini
merupakan puncak kehati-hatian.
Hadits-hadits
yang termasuk hadits dhaif digolongkan menjadi dua kelompok besar, yaitu; hadits
dha’if karena gugurnya rawi dalam sanadnya dan adanya cacat pada rawi dan
matan.
a.Hadits
Dha’if karena gugurnya rawi
Yang dimaksud dengan gugurnya rawi adalah
tidak adanya satu, dua atau beberapa rawi, yang seharusnya ada dalam satu
sanad, baik pada permulaan sanad, prtengahan dan akhir sanad. Ada beberapa nama
bagi hadits dha’if yang di sebabkan karena gugur rawi, yaitu:
1.
Hadist Mursal
Hadits mursal,
menurut bahasa berati hadits yang terlepas. Para ulama memberikan batasan
hadits mursal adalah hadits yang gugur rawinya di akhir sanad. Yang dimaksudkan
dengan rawi diakhiri sanad adalah rawi pada tingkatan sahabat. Jadi, hadist
mursal adalah hadits yangdalam sanadnya tidak menyebutkan sahabat Nabi, sebagai
rawi yang seharusnya menerima langsung dari rasulullah.
Contoh hadits mursal:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : بيننا وبين المنافقين شهود العشاء
والصبح لا يستطيعون
Artinya;
“Rasulullah
bersabda, “ Antara kita dengan kaum munafik ( ada batas), yaitu menghindari
jamaah isya dan subuh; mereka tidak sanggup menghindarinya”
(HR.
Malik)
Hadits tersebut diriwayatkan Imam Malik, dari Abdurrahman, dari
Harmalah, dan dari Said bin Mutsayyab. Disni tidak disebutkan siapa sahabat
Nabi yang menyampaikan kepada Said bin Mutsayyab.
Kebanyakan ulama memandang hadits mursal sebagai hadits dha’if dan
tidak diterima sebagai hujjah, tetapi sebagaian kecil ulama, termasuk Abu
Hanifah, Malik bin Anas,dan Ahmad bin Hanbal, dapat menerima hadits mursal
menjadi hujjah bila rawinya adil.
2.
Hadits Munqati’
Menurut bahasa, hadits munqati’ berarti hadits yang terputus. Para
ulama memberi batasan hadits munqati’adalah hadits yang gugur satu atau dua
rawi tanpa beriringan menjelang akhir sanadnya. Bila rawi diakhiri sanadnya
adalah sahabat Nabi, maka rawi menjelang akhir sanad adalah tabiin. jadi,
hadist munqati' bukanlah rawi ditingkatan sahabat yang gugur, tetapi minimal
gugur tabiin.
Contoh hadits munqati’:
كان
رسول الله صلى الله عليه وسلم اذا دخل المسجد قال : بسم الله وسلام على رسول الله
اللهم اغفرلى ذنوبى وافتح لى ابواب رحمتك
Artinya;
“RasulullahSAW
bila masuk kedalam mesjid, membaca:”Dengan menyebut nama Allah, dan sejahtera
atas Rasulullah; Ya Allah, ampunilah segala dosaku dan bukakanlah bagiku segala
pintu rahmatmu.”
(HR.
Ibnu Majah)
3.
Hadits Mudal
Menurut bahasa, hadits mudal berarti hadits yang sulit
dipahami para ulama memberi batasan hadits mudal adalah hadits yang
gugur dua org rawinya atau lebih secara beriringan dalam sanadnya.
Contoh hadits mudal adalah hadits imam malik di dalam kitabnya Al-Muwata.
Di dalam kitab tersebut, Imam Malik berkata, “Telah sampai kepadaku,
dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW, bersabda:
للمملوك طعامه وكسوته بالمعروف
Artinya:
“Budak itu
harus diberi makanan dan pakaian secara baik”
(HR.Malik)
Imam Malik dalam
kitabnya itu, tidak menyebutkan dua orang rawi yang beriringan antara dia
dengan Abu Hurairah. Dua orang rawi yang gugur itu di ketahui melalui riwayat
Imam Malik di luar kitab Al-Muwata’.
4.
Hadits Muallaq
Hadits
muallaq menurut bahasa, berarti hadits yang tergantung. Dari segi istilah,
hadits muallaq adalah hadits yang gugur satu rawi atau lebih di awal
sanad. Juga termasuk hadits muallaq, bila semua rawinya di gugurkan
(tidak disebutkan)
Contoh hadits muallaq:
لا تفاضلوا بين الانبياء
Artinya:
“Janganlah kamu melebihkan sebagian Nabi dan sebagian yang
lain”.
(HR. Bukhari)
Dari
riwayat hidup Imam Bukhari di ketahui bahwa sebenarnya tidak berjumpa dengan
Malik. Dengan demikian, Imam Bukhari telah menggugurkan ( tidak menyebutkan )
satu rawi di awal sanad tersebut.
b. Hadist Dha’if karena cacat pada rawi atau matan
Hadits-hadits
yang bercacat rawi atau matannya, atau kedua-keduanya harus di golongkan kepada
hadist dha’if. Banyak macam cacat yang dapat menimpa rawi tau menimpa matan.
Pendusta, pernah berdusta, fasiq, tidak di kenal, dan berbuat bid’ah merupakan
cacat-cacat, yang masing-masingnya dapat menghilangkan sifat adil pada perawi.
Banyak keliru, banyak waham, buruk hafalan, lalai mengusahakan hafalan, dan menyalahi
rawi-rawi yang dipercaya, merupakan cacat-cacat yang
masing-masingnyamenghilangkan sifat dhabith pada rawi. Adapun cacat matan,
misalnya terdapat sisipan ditengah-tengah lafazh hadits atau hadits di putar
balikan sehingga memberi pengertian yang berbeda dari maksud lafazh yang
sebenarnya.
Ada belasan
macam hadits dha’if karena cacat pada rawi atau matan, yaitu:
1.
Hadits Maudu’
Dari segi bahasa, hadits maudu’
berarti palsu atau hadits yang dibuat-buat. Para ulama memberikan batasan
hadits maudu’ adalah hadits yang
bukan hadits Rasulullah SAW, tetapi disandarkan kepada beliau oleh orang secara
dusta dan sengaja atau secara keliru tanpa sengaja. Hadits maudu’ merupakan
seburuk-buruk hadits dhaif.
Banyak tanda untuk menetapkan suatu
hadits maudu’. Petunjuk terpenting adalah makna hadits tersebut rusak dan
batil, yakni; tidak masuk akal, bertentangan dengan akal sehat, bertentangan dengan
kebenaran yang sudah dapat dipastikan secara ilmiah atau historis, bertentangan
dengan hadits-hadits yang lebih kuat, atau bertentangan dengan ayat Al-Qur’an.
2.
Hadits Matruk atau Hadits Matruh
Dari segi bahasa, hadist matruk
berarti yang ditinggalkan dan hadits matruh berarti yang dibuang. Para
ulama memberi batasan hadits matruk(hadist matruh) adalah hadits yang diriwayatkan
oleh orang yang tertuduh pernah berdusta (baik berkenaan dengan hadits atau
mengenai urusan lain), atau tertuduh pernah mengerjakan maksiat, atau lalai,
atau banyak fahamnya
.
3.
Hadits Munkar
Hadits munkar, dari segi bahasa,
berarti hadits yang diingkari atau hadits yang tidak di kenal.Para
ulama memberikan batasan hadits munkar adalah hadits yang diriwayatkan
oleh rawi yang lemah yang berlawanan dengan rawi yang kuat (kepercayaan).
4.
Hadist Muallal
Hadits Muallal, dari segi bahasa, berarti
yang terkena illat (penyakit atau bencana). Para ulama memberi batasan hadits
muallal adalah hadits yang mengandung
sebab-sebab tersembunyi (tidak mudah untuk diketahui) yang menjatuhkan
derajatnya.
Illat
yang menjatuhkan derajat hadits itu bisa terdapat pada sanad atau matan, serta
bisa pada keduanya.
5.
Hadits Mudraj
Hadist
mudraj, dari segi bahasa, berarti hadits yang dimasuki sisipan. Dari segi
istilah hadits mudraj adalah hadits yang dimasuki sisipan, yang sebenarnya
bukan bagian hadits itu.
Sisipan
itu bisa pada sanadnya, bisa matannya, dan bisa pada keduanya.
6.
Hadits Maqlub
Dari segi bahasa, hadits maqlub berarti
hadits yang diputar balik. Dari segi istilah hadits maqlub adalah hadits yang
terjadi pemutarbalikan pada matannya atau pada nama rawi dalam sanadnya atau
penukaran suatu sanad untuk matan yang lain.
7.
Hadits Syaz
Dari segi bahasa, hadits syaz berarti
hadits yang ganjil. Para ulama memberi batasan hadits syaz adalah hadits yang
diriwayatkan oleh rawi yang dipercaya, tetapi haditsnya itu berlainan dengan
hadits-hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang juga dipercaya. Hadits
tersebut mengandung keganjilan dibandingkan dengan hadits-hadits lain yang
kuat. Keganjilan itu bisa pada sanad, matan maupun pada keduanya.
Para
ulama mengenai hadits dha’if mempunyai tiga madzhab:
Pendapat pertama: hadits dha’if itu
tiada boleh diamalkan sekali-kali. Tidak boleh dalam soal hukum, tidak boleh
dalam soal targhibdan lain-lainnya.
Pendapat kedua: hadits-hadits dhai’if itu bisa dipergunakan untuk
menerangkan fadhilah-fadhilah amal ( fadha-ilul a’mal).
Pendapat ketiga: mempergunakan
hadits dha’if, kalau dalam hadits-hadits shahih dan hasan tidak diperoleh.
Menurut
Al Hafidh Ibnu Hajar Al Asqalani, bahwa ulama-ulama memberikan syarat kebolehan
mengambil dan mempergunakan hadits dha’if ada tiga syarat:
1.
Kelemahan hadits itu tiada seberapa. Maka hadits yang hanya
diriwayatkan oleh orang yang tertuduh dusta, tiada di pakai.
2.
Petunjuk hadits itu ditunjuki oleh sesuatau dasar yang diperangi,
dalam arti bahwa memeganginya tidak berlawanan dengan sesuatu dasar-hukum yang
sudah dibenarkan.
3.
Jangan dii’tiqadkan kala memegangnya, bahwa hadits itu benar dari
Nabi. Hanya dipergunakan sebagai ganti memegangi penadapat yang tiada
berdasarkan nash sama sekali.
5.Kemudharatan-kemudharatan Yang Terjadi Dari Periwatan Hadits
Dhaif[6]
Sungguh telah banyak terjadi
kemudharatan dari meriwayatkan hadits-hadits dha’if dengan tidak menerangkan
kedha’ifannya.
Imam Muslim dengan tegas tidak
membenarkan orang meriwayatkan hadits dha’if dengan tidak menerangkan
kedha’ifannya.Di dalam Muqaddamah Shahihnya beliau mngatakan, bahwa: “Para
ulama memerlukan penjelasan-penjelasan tentang keaiban perawi-perawi hadits,
serta penukil-penukil khabar; mereka menyuruh kita berbuat demikian, adalah
karena sangat besar bencananya, jika kita tidak menerangkan yang demikian itu.
Hadits dalam urusan agama adalah menghalalkan, mengharamkan, menyuruh, menegah,
menggemarkan dan mempertakutkan. Maka apabila perawi-perawinya bukan orang yang
benar dan kita riwayatkan kepada orang lain dengan tidak
menerangkan
6.Syarat-syarat
Meriwayatkan Hadits Dha’if[7]
Sebahagian ulama membolehkan kita
meriwayatkan hadits dha’if dengan lafadh yang memberi tahukan kedha’ifannya walaupun
tiada menerangkan kedha’ifannya asal cukup syarat-syarat yang ada di bawah ini:
1.
Hadist yang dha’if itu ber hubungan dengan soal cerita, pengajaran
(nasehat), atau keutamaan-keutamaan amal, tiada berhubungan dengan soal
i’tiqad, tiada menjadi tafsir sesuatu ayat, tiada menetapkan sesuatu hukum
halal, haram, makruh, dan sunat.
2.
Hadits itu tiada seberapa dha’ifnya, jika kedha’ifannya hadits si
perawi tertuduh berdusta, maka tiada boleh sekali-kali diriwayatkannya dengan
tiada menerangkan kedha’ifannya, walaupun untuk keperluan menarik perhatian,
atau hanya sekadar menggemarkan saja.
3.
Hadist itu, masuk kedalam salah satu pokok yang shahih. Umpamanya,
sholat sunnah dhuha, sudah jelas ditegaskan oleh beberapa hadits yang shahih,
di samping itu ada hadits dha’if yang menerangkan keutamaannya, atau faedah
sholat dhuha tersebut. Hadits dha’if ini boleh kita pakai untuk targhib, karena
kesunnahan sholat dhuha itu, telah diakui oleh hadits yang lain dari padanya.
4.
Hadits yang dha’if itu, tiada diakui shahih datangnya dari Nabi SAW
atau tiada rasulullah menyabdakannya, hanya dipakai dan diamalkan semata-mata
untuk ihtiyaath (untuk memelihara).
Demikian
pendapat sebahagian para Ahli Hadits.
7.Kitab-kitab Yang Memuat Hadits Dha’if[8]
Para
imam hadits telah menyusun berbagai kitab yang menjelaskan hadits-hadits
maudu’. Di antara kitab-kitab bersumber hdits maudu’ yaitu:
1.
Al-Maudu’at, karya Al Imam Al Hafiz Abul Fajar Abdur Rahman bin
Al-Jauzi (597 H).
2.
Al-Laali Al-Masnuah fi Al-Ahadis Al-Mauduah, karya Al-Hafizh
Jalaluddin Al-Suyuti (911 H)
3.
Tanzih Al-Syariah Al-Marfuah Al-Ahadis Al-Syaniah Al-Mauduah, karya
Al-Hafidz Abu Al-Hasan Ali bin Muhammad bun Iraq Al-Kannani (963 H)
4.
Al-Manar Al-Munif fi Al-Shahih wa Al-Dhaif, karya Al-Hafidz Ibnul
Qayyim Al-Jauziyah (751 H)
5.
Al-Masnu fi Al-Hadis Al-Maudu’, karya Ali Al-Qari. (1014 H)
BAB III
KESIMPULAN
·
Hadits dhaif menurut bahasa, berarti hadits yang lemah yang
mengandung artian bahwa para ulama memiliki dugaan yang kecil tentang benarnya
hadits itu berasal dari rasulullah SAW.
·
Pembagian hadist dhaif dapat dibagi menjadi dua kelompok besar
yaitu:
Ø Hadits dhaif
karena gugurnya rawi
Ø Hadits dhaif
karena cacat pada rawi atau matan.
·
Hadits dhaif karena gugurnya rawi dibagi pula menjadi beberapa
macam: hadits mursal, hadits munqati’, hadits mudal, hadits muallaq.
·
Hadits dhaif karena cacat pada rawi atau matan di bagi pula menjadi
beberapa macam: hadits maudu’, hadits matruk, hadits munkar, hadits muallal,
hadits mudraj, hadits maqlub, hadits
syaz.
·
Syarat-syarat meriwayatkan hadits dhaif:
Ø Hadits yang
dhaif itu berhubungan dengan nasehat, keutamaan-keutamaan amal, tidak menjadi
tafsiran sesuatu ayat qur’an, dan tiada menetapkan hukum syaria’at.
Ø Hadits itu
tidak seberapa kedhaifannya dan kedhaifan hadits itu bukan karena si perawi
tertuduh berdusta.
Ø Hadist itu
termasuk kedalam salah satu pokok hadits yang shahih.
Ø Jika hadits
dhaif itu tidak diakui datangnya dari rasulullah hanya boleh dipakai dan
diamalkan semata-mata untuk memelihara diri.
·
Caesars Entertainment buys online gaming division Caesars Palace
ReplyDeleteCaesars Entertainment has entered into a definitive sale of 화성 출장안마 Caesars Palace Casino in 과천 출장샵 Macau, China (Lima, 세종특별자치 출장샵 June 포항 출장마사지 30, 2021) 계룡 출장마사지